Friday, 28 February 2014

Alllights Village Project

Did you know that many villages whose children and community have been living without the electricity? We come to help them with our project, APV. It stands for Alllights Village Project.

The Alllights Village Project is a movement to make an ideal village embodying Global Peace Festival Foundation’s (GPFF) vision, “One Family under God”, through providing solar-charged lanterns to poor villages without electricity in the world. By doing this, people in the villages will be given extra time to study and a chance to be educated to promote the social and economic development of their villages by themselves.


First, the Alllights Village Project will give the poor villages a pleasant residential environment without hazardous gas and smoke through providing solar-charged lanterns. Some 1.6 billion people in the world, more than a quarter of humanity, have no access to electricity and 2.4 billion people rely on wood, charcoal or dung as their principal source of energy for heating. This fuel is literally killing people. Two and a half million women and children die each year from the indoor pollution from cooking fires. 



Second, the Alllights Village Project will develop a movement to eradicate illiteracy in poor villages. The right to an education is a basic human right, and eradicating illiteracy is one of the first steps to guaranteeing basic human rights. To make an equal society and create social harmony, people have to be guaranteed equal opportunities to realize their basic rights and to improve their quality of life. But, in their environment, poor people currently have no hope of improvement of the quality of their lives. 


The Alllights Village Project will provide lights to such people who do not receive proper education and educate the people so they can make the foundation for social and economic development on their own.

Thursday, 27 February 2014

Hidup di Daerah Terpencil, Anak-anak Dusun Tretes Masih Bisa Tersenyum

Apakah yang kalian bayangkan ketika mendengar dusun terpencil? Pastinya berbagai macam jawaban yang tentunya mengarah ke hal-hal yang sangat jauh dari kota. Yapp..benar sekali kalau hal tersebut yang ada di dalam bayangan kita. 


Ini kali ketiga saya datang ke dusun yang jaraknya sekitar 74 km dari Bojonegoro ini. Saya memiliki kesempatan untuk tinggal di dusun ini selama  4 hari. Dusun ini merupakan salah satu tempat yang menjadi program dari Alllights Village Project of Global Peace Foundation Indonesia.

Inilah Dusun Tretes tersebut:

Ketika hujan, maka akan menempuh jalan seperti ini:

Banyak hal yang membuat saya semakin bersyukur dengan apa yang saya miliki saat ini dan membuat saya bersemangat untuk tinggal di tempat ini. Beberapa hal tersebut adalah:

  • Upacara bendera di SDN Pragelan III Dusun Tretes

Pertama kalinya saya melihat anak-anak sekolah tidak beralaskan kaki tetapi tetap semangat untuk      datang ke sekolah. Jumlah siswa di sekolah ini adalah 30 orang dengan tenaga pengajar sebanyak 4 orang.




Saya sangat terharu melihat para siswa sangat bahagia saat kami datang ke sekolah mereka. Ketika itu saya bersama volunteer dari UIN Surabaya datang dan langsung memberikan semangat kepada mereka. Pada umumnya setiap hari Senin sekolah-sekolah di seluruh Indonesia wajib melaksanakan upacara bendera. Tetapi tidak untuk sekolah SDN Pragelan III Dusun Tretes. Ini kali kedua mereka melangsungkan upacara bendera (10 Februari 2014). Ada banyak hal yang menyebabkan hal tersebut, salah satunya adalah hingga saat ini tidak ada tiang bendera di sekolah ini. Upacara bendera yang sangat mengharukan.

                                  http://www.youtube.com/watch?v=kfILDVb-Mtc
  • Kamar Mandi

Mungkin kita memiliki beberapa kamar mandi di rumah atau tempat tinggal kita. At least ada 1 kamar mandi di setiap rumah. Hal yang paling unik di dusun ini adalah hanya ada 1 kamar mandi yang di gunakan oleh semua orang di dusun ini. Can you imagine it?

Awalnya saya juga bingung bagimana menjelaskannya. Akhirnya saya merasakan dan bisa menjelaskan sedikit tentang kamar mandi ini. Ketika saya tinggal di dusun ini, ada beberapa hal yang saya perhatikan dan saya tanyakan kepada warga. Jadi, setiap orang sudah mulai mengantri mulai pukul 16.00 WIB untuk mandi secara bergilir. Setelah selesai mandi, harus mengangakat gorden yang berada di depan pintu kamar mandi tersebut ke atas. Hal ini pertanda bahwa tidak ada orang di kamar mandi (seperti pintu terbuka). Untuk pengambilan air, kebetulan airnya ada di bagian luar kamar mandi. Jadi, tidak perlu menunggu orang lain selesai mandi. Tidak pernah terjadi perselisihan antar warga dikarenakan kamar mandi. Salutttt…
  • Hanya ada 1 WC

Kunjungan pertama dan kedua saya ke dusun ini belum ada WC. Kunjungan ketiga ini sudah ada 1 WC yang terletak di belakan rumah kepala dusun. Selama ini, seluruh warga yang ada di dusun ini membuang air besar ke kali yang tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Mereka tidak pernah kekurangan air karena memiliki sumber mata air yang langsung dari pegunungan. Hanya saja mereka belum memiliki dana untuk pembangunan saluran pipanisasi ke rumah masin-masing. Sehingga sulit untuk proses jambanisasi.
  • Rasa Kekeluargaan 

Saya merasa diterima dan dihargai di dusun ini. Saya suku Batak dan beragama Katolik sedangkan warga di dusun ini adalah 100% suku Jawa yang beragama Islam. Mereka sama sekali tidak pernah mempermasalahkan perbedaan tersebut. Bahkan ketika itu ada pengajian di Masjid, saya diajak dan diberikan perlengkapan ke Masjid sperti sarung dan baju koko. 

Saya ikut ke Masjid dan saya menjadi observer ketika itu. Saya duduk di belakang dan setiap warga yang datang selalu memberikan kesan yang baik kepada saya. Setelah selesai sholat mereka semua menyalami saya. Setelah sholat berjamaah, dilakukan pengajian bersama anak-anak di dusun ini yang dipimpin oleh mahasiswa KKN. Mahasiswa KKN dari UIN Surabaya yang selalu mendampingi saya saat itu. Hal ini membuat saya sangat terharu. Beberapa malam terakhir sebelum saya kembali ke Jakarta, mereka semua berkumpul di rumah kepala dusun dan beramai-ramai mengajarkan saya bahasa Jawa. Mereka sangat terhibur ketika saya mengulang-ulang bahasa Jawa dan menjawab setiap pertanyaan mereka dalam bahasa Jawa yang sangat kaku. 

Dapur yang sangat sederhana:

Harapan saya untuk dusun ini adalah semoga semakin banyak orang-orang yang peduli, semakin banyak sukarelawan yang datang ke dusun ini untuk membantu dengan ikhlas sehingga warga di dusun ini bisa menjadi lebih baik.